Kami Segenap Jajaran Panwaslu Kabupaten Sumbawa Besar Mengucapkan Terima kasih Atas Partisifasi dan Kerja Sama Kepada seluruh Masyarakat Sumbawa, 'Info Lain. Yang Telah Mensukseskan Pilpres 2014, Sehingga Berjalan Lancar, Tertib dan Aman Termasuk kepada Pe milih-Laki-laki:163.723 dan Wanita:168.371.
Ani Soetjipto: Harapan Politik Perempuan di Pemilu
Kontribusi Ani Soetjipto bukan hanya merintis politik perempuan di pemilu Indonesia. Karya dan aktivitas melalui bidang pendidikan formal yang dipilihnya menjamin harapan terus diupayakannya perspektif perempuan dalam prosedur demokrasi. Di saat seteru “kualitas vs kuantitas” menguat setelah penerapan afirmasi perempuan pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, beberapa artikel dan buku yang Ani tulis mengingatkan lagi, masalah utama politik perempuan adalah patriarki. Tak adil jika kita hanya menagih kualitas politisi perempuan saat partai dan parlemen yang mayoritas laki-laki telah lama hasilkan kebijakan diskriminatif.
Ani Widyani Soetjipto sehari-hari mengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI. Gelar Master diperolehnya dari The Jackson School of International Studies, University of Washington, USA pada 1989. Minat keahliannya adalah pada isu gender dan partisipasi politik perempuan, pengembangan legislatif, politik Indonesia dan pemerintahan lokal, serta hubungan internasional, khususnya studi Cina dan Asia Timur. Selain mengajar dan aktif dalam berbagai organisasi masyarakat sipil untuk mendorong isu-isu demokratisasi, tulisannya mengenai isu perempuan dan politik banyak tersebar di media massa nasional, jurnal ilmiah, maupun bab dalam berbagai buku.
Berdasarkan buku yang ditulisnya yaitu “Politik Harapan” (2011) dan “Partai Politik dan Strategi Gender Separuh Hati” (bersama Shelly Adelina [2012]) disimpulkan, pemahaman tentang gender dan kebijakan afirmasi tak dipahami elite partai. Dampaknya partai menerapkan afirmasi perempuan sebatas aksesoris demokrasi modern.
Melalui argumen dan data Ani menilai, kebijakan afirmasi dibajak ideologi patriarki dengan memanipulasi dan mengeksploitasi perempuan untuk memperoleh kemenangan partai di kompetisi terbuka. Pencalonan perempuan dimaknai sebagai pemenuhan persentase jenis kelamin saja, bukan agenda kesetaraan gender.
Tak heran sebetulnya saat dampak afirmasi pun menyertai sepak terjang buruk politisi perempuan. Agenda politik pilkada disusupi partai dengan pencalonan Julia Perez (Pacitan), Maria Eva (Sidoarjo), Ayu Azhari (Sukabumi dan Tangerang Selatan), Ratih Sanggarwati (Ngawi), dan selebritas lainnya. Atau kisah perseturuan istri muda-istri tua di Pilkada Ponorogo. Lalu istri bupati yang mau meneruskan jabatan suaminya di Kendal, Bantul dan Kediri. Belum lagi dinasti Ratu Atut di Banten. Ditambah bagi-bagi “Apel Malang” Angelina Sondakh juga kasus korupsi oleh perempuan di eksekutif dan legislatif beserta skandal lainnya. Lalu media memberitakannya seolah semua/banyak politisi perempuan tak berkualitas. Aktivis perempuan, Rieke Diah Pitaloka pun sampai tak sabar ambil kesempatan di demam Jokowi hingga “bersetubuh” dengan aktivis antikorupsi yang seksis di Pilkada Jabar.
Hasil penelitian Ani (dan Shelly) menyimpulkan tak ada kebijakan dan strategi pengarusutamaan gender. Pembentukan departemen/pelembagaan/sayap khusus perempuan di banyak partai pun tak didasari prinsip keadilan, kesetaraan, dan ekuitas gender. Posisi entitas itu cenderung marjinal dalam pengambilan keputusan penting partai.
Sebetulnya hal tersebut bisa lebih dirubah jika perspektif perempuan yang kuat dimiliki pemimpin departemen/pelembagaan/sayap perempuan di partai. Komitmen dan konsistensi berserta strategi akan bisa mewujudkan keadilan gender di tubuh partai. Maka ideologi feminisme menjadi hal terpenting dimiliki kader perempuan. Kepentingan yang dibawa ketika mereka berpartisipasi di partai harus dipastikan. Apakah mereka memperjuangkan kepentingan pribadi, partai, atau kepentingan umum yang strategis untuk kesetaraan dan keadilan gender?
Demokrasi sejatinya mengandung prinsip kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. Demokrasi tak bisa dimaknai secara teknis prosedural hanya melalui sistem pemilu. Dari sini makna politik tak bisa direduksi untuk mengedepankan hak asasi individual tapi mencederai kebersamaan, kemaslahatan, kebaikan, etika, serta akal budi yang seharusnya menjadi panduan berpolitik.
Berdasarkan evaluasi keadaan partai, sulit berharap partai berubah cepat berpihak pada perspektif perempuan. Struktur partai sentralistis, hirarki (top down), dan tertutup. Partai berpikir, jika bisa menang tanpa pengorganisasian terbuka dan demokratis, buat apa kaderisasi menyertai kesetaraan?
Ani lalu menegaskan, arena strategis penguatan perspektif perempuan adalah masyarakat (civil society). Isu strategis seperti antikorupsi, pendidikan, dan kesehatan merupakan contoh isu yang baik disertakan perspektif perempuan. Selain lebih praksis, ini penting sebagai perluasan dukungan masyarakat melalui tiap organisasi isu tersebut.
Perlu ada pemahaman massif bahwa terdapat kaitan kuat antara politik informal dengan formal. Selama ini politik dengan pemilunya dimaknai kuno dengan membatasi pengertian formal merujuk partai, parlemen, dan pemilu. Slogan feminisme berbunyi “the personal is political” menekankan, “dapur, kasur, dan sumur” merupakan ruang yang dipertimbangkan dalam berpolitik. Pemahaman masyarakat sebagai pemilih akan semakin baik. Semua ini akan mendorong partai berubah untuk siap ikut pemilu.
Copyright ©2013 Panwaslu | Designed 3y apscode | Panitia Pengawas Pemilihan Umum-Kabupaten Sumbawa Besar |
0 komentar:
Posting Komentar