Sudah atau pernah kawin sebagai syarat untuk berhak pilih di pemilu perlu dikaji. Perbedaan budaya layak kawin seseorang dan permasalahan status legalitas perkawinan menjadi hambatan dalam penyusunan daftar pemilih di Indonesia. Hal ini menjadi bahasan diskusi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) di Tebet, Jakarta Selatan (8/11).
Peneliti Perludem, Khoirunnisa Agustyati menjelaskan, syarat kawin tak ada dalam referensi pemilu. Studi perbandingan pemilu di berbagai negara hanya membahas variabel usia (misalnya 16, 17, atau 18 tahun) dan status kewarganegaraan. “Tak ada (variabel) sudah atau pernah kawin. Usia 17 pun hanya tiga Negara,” kata Nisa.
Direktur eksekutif Perludem, Titi Anggraini menguatkan referensi itu. Menurut pengalamannya berdiskusi dengan pemerhati pemilu beberapa Negara lain, saat mendengar “sudah atau pernah kawin” juga termasuk syarat berhak pilih di pemilu, mereka bingung mendengar. Perbedaaan budaya kapan seseorang boleh kawin dan penelitian tingkat kedewasaan perlu ditelaah.
Deputi direktur eksternal Perludem, Veri Junaidi pun mempertanyakan konteks syarat tersebut ada. Fakta adanya praktek perkawinan bawah tangan menjadi permasalahan pendataan pemilih. Hal adminsitrasi baik yang tak tercatat maupun yang tak sesuai menjadi permasalahan daftar pemilih yang menuntut keakuratan.
Titi berpendapat, mungkin syarat tersebut terkait konteks dibuatnya undang-undang perkawinan. Perlu ada pengecekan regulasi di Pemilu 1955 dan pemilu sebelum dan sesudah UU No. 1/1974 dibuat. “Ini perlu kajian khusus. Coba dicek di undang-undang tahun ’51 dan ’71. Mungkin ada kaitannya dengan undang-undang perkawinan,” kata Titi.
0 komentar:
Posting Komentar